Monday, October 27, 2008

Prinsip Pertumbuhan dan Perkembangan

Daya tarik yang besar dari Etika Kepribadian adalah adanya semacam caya yang cepat dan mudah untuk mencapai kehidupan yang berkualitas - keefektifan pribadi dan hubungan yang kaya dan mendalam dengan orang lain - tanpa menjalani proses alami berupa kerja dan pertumbuhan yang memungkinkan terjadinya itu semua.

Ini adalah sebuah simbol tanpa substansi. Ini adalah skema "menjadi kaya dengan cepat" yang menjanjikan "kekayaan tanpa kerja". Dan ini mungkin kelihatannya berhasil - tetapi tetap merupakan skema.

Etika kepribadian menyesatkan dan menipu. Berusaha mendapatkan hasil berkualitas tinggi dengan teknik-tekniknya dan perbaikan cepatnya adalah sama efektifnya dengan berusaha untuk tiba disuatu tempat di Chicago dengan menggunakan peta Detroit.

Didalam semua kehidupan ada tahap-tahap berurutan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Seorang anak belajar untuk berguling, duduk, merangkak dan kemudian berjalan lalu berlari. Tiap tahap adalah penting dan masing-masing membutuhkan waktu. Tidak ada tahap yang dapat dilewati begitu saja.

Ini berlaku di dalam semua fase kehidupan, di dalam semua bidang perkembangan, entah itu belajar piano atau berkomunikasi secara efektif dengan rekan sekerja. Ini berlaku pada individu, dalam pernikahan, dalam keluarga dan dalam organisasi.

Kita mengetahui dan menerima fakta dan prinsip dari proses ini di dalam benda-benda fisik, tetapi untuk memahaminya di dalam bidang emosional, didalam hubungan manusia dan bahkan di dalam bidang karakter pribadi adalah kurang lazim dan lebih sulit. Walaupun kita memahaminya, untuk menerimanya dan hidup selaras dengannya bahkan lebih tidak lazim dan lebih sulit lagi. Akibatnya, kita kadang mencari jalan pintas, berharap dapat melompati beberapa langkah vital ini untuk menghemat waktu dan tenaga dan tetap meraih hasil yang diinginkan.

Apa yang terjadi bila kita berusaha memintas suatu proses yang alami didalam pertumbuhan dan perkembangan kita? Jika anda hanya seprang pemain tenis biasa saja, tetapi memutuskan untuk bermain pada tingkat yang lebih tinggi untuk memberikan kesan yang lebih baik, apa hasilnya? Apakah berpikir positif saja memungkinkan anda bersaing secara efektif melawan seorang profesional?

Bagaimana jika anda ingin membuat teman anda percaya bahwa anda dapat bermain piano pada tingkat konser sementara kemampuan anda yang sebenarnya sekarang adalah tingkat pemula?

Jawabannya jelas. Sama sekali tidak mungkin untuk melanggar, mengabaikan atau memintas proses perkembangan ini. Ini berlawanan dengan alam, dan berusaha menggunakan jalan pintas seperti ini akan mengakibatkan kekecewaan dan frustasi.

Pada skala sepuluh angka, seandainya saya berada pada tingkat dua pada bidang apapun dan ingin pindah ke tingkat lima, saya harus lebih dahulu mengambil langkah ke tingkat tiga. "Perjalanan seribu mil dimulai dari langkah pertama" yaitu BERTINDAK dan tidak menunda-nunda, dan hanya dapat dilakukan satu langkah demi langkah.

Contoh dari Stephen R. Covey (7 habit)

Suatu hari saya pulang untuk menghadiri pesta ulang tahun ketiga putri saya. Saya mendapatkannya berada di sudut ruang depan, dengan menantang mengengam semua hadiahnya, tidak bersedia membiarkan anak-anak lain bermain dengan hadiah miliknya. Hal pertama yang saya lihat adalah beberapa orangtua di dalam ruangan menyaksikan peragaan yang egois ini. Saya merasa malu dan semakin malu karena waktu itu saya mengajar untuk mata kuliah hubungan manusia. Dan saya tahu, atau setidaknya merasakan, apa harapan orang tua ini.

Suasana di dalam ruangan benar-benar tidak enak - anak-anak berkerumum di sekeliling putri saya yang masih kecil dengan tangan mereka terjulur meminta untuk bermain dengan hadiah-hadiah yang baru saja mereka berikan dan putri saya menolak dengan kukuh. Saya berkata dalam hati," Tentunya saya harus mengajarkan putri saya untuk berbagi. Nilai dalam berbagi adalah salah satu dari hal yang paling mendasar yang kami yakini.

Lihat cara pendekatan berikut ini :

Saya pun mencoba melakukan sebuah permintaan sederhana. "Sayang, MAUkah kamu meminjamkan mainan yang baru saja mereke berikan kepadamu?

"Tidak," jawabnya datar.

Cara yang kedua adalah menggunakan sedikit penalaran. "Sayang, JIKA kamu mau meminjamkan MAKA kalau kamu pergi kerumah mereka, mereka juga akan meminjamkan mainan mereka kepadamu".

Kembali jawabannya adalah "tidak".

Saya menjadi lebih malu karena jelas saya tidak mempunyai pengaruh. Cara yang ketiga adalah SUAP. Dengan berbisik saya berkata "Sayang, JIKA kamu mau meminjamkan mainan itu, ayah punya kejutan istimewa untukmu. Ayah akan beri kamu permen karet."

Aku tidak mau permen karet, bentaknya.

Sekarang saya menjadi jengkel. Untuk usaha saya yang keempat, saya mengandalkan rasa takut dan ancaman. "KALAU KAMU tidak mau meminjamkan mainanmu, KAMU akan dihukum!.

"Aku tidak peduli!" teriaknya. "Ini semua mainanku. Aku tidak perlu meminjamkannya!"

Akhirnya saya mengandalkan kekuatan. Saya lamgsung mengambil beberapa mainan tersebut dan memberikannya kepada anak-anak lain. "Ini anak-anak, mainlah".

Yang menarik adalah saya sekadar mengambil keputusan awal bahwa saya benar, ia harus berbagi dan ia salah karena tidak melakukannya. Barangkali saya memaksakan harapan tingkat yang lebih tinggi kepadanya karena pada skala saya sendiri, saya berada pada tingkat yang lebih rendah. Saya tidak mampu atau tidak bersedia memberikan "kesabaran" dan "pengertian", sehingga saya mengharapkannya untuk memberikan benda-benda. Dalam upaya untuk mengimbangai kekurangan saya, saya meminjam kekuatan dari posisi atau otoritas saya untuk memaksanya melakukan apa yang saya ingin agar ia kerjakan.

Kita akan membahas pada ulasan berikutnya bahwa meminjam kekuatan itu adalah sebuah kelemahan.

Salam kepemimpinan,
Surya D. Rachmannuh
surya_rachmannuh@yahoo.co.id