Monday, October 13, 2008

Etika Kepribadian dan Etika Karakter

Banyak literatur selama 50 tahun terakhir pada saat tulisan ini dibuat (sekitar tahun 1940 - 1990an, Steven R. Covey menemukan bahwa literatur itu diisi dengan kesadaran akan

* Citra sosial
* teknik dan perbaikan cepat (Quick Fix)

dengan plester sosial dan aspirin yang mengobati masalah akut dan kadang bahkan tampak menyembuhkannya untuk sementara waktu, namun itu akan menimbulkan masalah kronis yang mendasarinya tanpa tersentuh untuk membusuk dan muncul kembali ke permukaan berkali-kali....

Dalam kontras yang tajam, hampir semua literatur dalam 150 tahun yang pertama sesudah kemerdekaan AS, apa yang disebut Etika Karakter disebut sebagai dasar dari keberhasilan. Hal-hal seperti :

* Integritas
* Kerendahan hati
* Kerajinan
* Penguasaan diri
* Keberanian
* Keadilan
* Kesabaran
* Kerajinan
* Kesopanan
* dan Hukum Utama (berbuatlah kepada orang lain seperti yang kamu kehendaki supaya orang berbuat kepadamu). Dan Autobiografi Benjamin Franklin mewakili literatur ini.

Sangat menarik bukan? Ini adalah sebuah kisah tentang usaha satu orang untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip ini kedalam karakter dasar mereka.

Akan tetapi, tak lama setelah perang Dunia I, pandangan dasar tentang keberhasilan berubah dari Etika Karakter menjadi apa yang dapat kita sebut Etika Kepribadian, dimana keberhasilan menjadi lebih merupakan fungsi kepribadian, citra masyarakat, sikap dan perilaku, ketrampilan dan teknik, yang melicinkan proses interaksi manusia.

Etika kepribadian ini pada dasarnya mengambil dua jalan yaitu :

1. Teknik hubungan manusia dan masyarakat
2. Sikap Mental Positif (SMP)

Memang kadang filosofi ini diekspresikan di dalam pepatah yang mendatangkan ilham dan kadang absah seperti :

* Senyum menghasilkan lebih banyak teman daripada kerutan pada dahi
* Apapun yang dapat dipahami dan diyakini oleh benak manusia, maka itu pasti dapat dicapai.

Bagian lain dari pendekatan kepribadian jelas manipulatif, bahkan menipu, mendorong orang menggunakan teknik-teknik untuk membuat orang lain menyukai mereka atau berpura-pura tertarik akan hobi orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang tersebut atau hendak menggunakan "penampilan kekuasaan" atau untuk menjalani kehidupan mereka dengan intimidasi.

Sebagian dari literatur ini menyatakan karakter sebagai bahan dari keberhasilan, tetapi cenderung mengkotak-kotakkannya dan bukan mengakui sebagai hal yang mendasar dan sebagai katalisator. Acuan pada etika karakter kebanyakan hanya dibibir saja; padahal penggerak dasarnya adalah teknik mempengaruhi yang cepat, strategi kekuasaan, keterampilan berkomunikasi dan sikap positif.

Bagaimana dengan kita yang hidup di Indonesia?

Salam Kepemimpinan
Surya D. Rachmannuh
surya_rachmannuh@yahoo.co.id